Iklan Adsense Otomatis

Urgensi "lobbying" bagi bidang kepustakawan & Marketing Politik

Urgensi "lobbying" bagi bidang kepustakawan & Marketing Politik


Penulis: Wahyu Febrianto

Sejauhmana urgensi "lobbying" bagi bidang kepustakawan! Berikan contoh studi kasusnya!

Realitas yang ada saat ini, nampak wajah baru kepustakawanan di era teknologi. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memberikan kontribusi yang signifikan, yang relevan dengan tren saat ini terhadap dunia perpustakaan. Peranan pustakawan era inovasi digital mencakup menyediakan literatur yang diperlukan untuk mendukung penelitian dan pengabdian civitas akademika yang sedang dilakukan, mengembangkan koleksi dengan melanggan database e-book dan e-journal, meng-upgrade ketrampilan pengetahuan pengguna tersebut, misalnya ketrampilan dalam penelusuran informasi. Dampaknya, perpustakaan perlu menyikapi dan merespon dengan menyediakan layanan baru berdasarkan tren saat ini dan harapan pengguna perpustakaan di era teknologi. Namun, perpustakaan tidak mampu berdiri sendiri sepenuhnya untuk memenuhi harapan dan keinginan penggunanya.

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kolaborasi untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki serta mengatasi keterbatasan sumber daya yang ada. Praktik kolaborasi membutuhkan proses koordinasi antara pemangku perpustakaan dengan pihak-pihak lain yang saling membutuhkan untuk mencapai tujuan. Dalam proses koordinasi yang disebut “lobbying”, beberapa pihak ada yang saling bekerja sama, namun ada juga yang bersaing. Pola ini lebih menekankan bahwa lobby untuk membangun koalisi dengan para stakeholders (pihak lain yang berkepentingan) dengan berbagai tujuan dan kepentingan untuk melakukan usaha bersama di organisasi. Berikut ini tahapan lobbying yang ditawarkan oleh Farnel untuk membangun strategi lobi (Farnel, 1994). Pertama, menentukan tujuan bisnis. Perpustakaan harus jelas mengungkapkan maksud dan manfaat untuk merelevansikan dengan perkembangan, terutama perkembangan TIK seperti open access and sharing resources antar perpustakan. Kedua, perpustakaan menentukan analisis aspek yang harus dipantau, dianalisis, dan menyerukan intervensi terhadap instansi atau organisasi lain atas pengembangan teknologi untuk kebutuhan penggunanya, yang dapat memainkan peran dalam kerja internal organisasi dan menetapkan untuk ditindaklanjuti. Selanjutnya, identifikasi target yang ingin dipengaruhi oleh perpustakaan. Target tidak harus semua elemen, misalnya fokus kepada pengguna dan layanan. Secara umum terlibat dalam proses, tetapi mereka yang memiliki kekuatan nyata, baik psikologis dan material. Keempat, pilih teknik lobi yang harus digunakan seperti lobi langsung, lobi tidak langsung. Sebagai koalisi perpustakaan, mereka harus diidentifikasi apakah mereka termasuk asosiasi profesional dari sektor terkait, kelompok penekan, dan lain-lain. Kelima implementasi, pemantauan, evaluasi. Pemantauan implementasi strategi lobi dapat melampaui mengidentifikasi target, waktu intervensi dan taktik tindakan. Hal itu harus tetap terbuka untuk semua perkembangan yang mungkin diperlukan selama prosesnya.

Pada akhirnya, keberadaan perpustakaan saat ini dan masa mendatang semakin popular. Hal ini tidak lepas dari elemen perpustakaan seperti pemangku perpustakaan, staf perpustakaan, dan pustakawan yang telah banyak melakukan berbagai kegiatan yang kreatif dan inovatif bagi penggunanya. Perpustakaan tetap merupakan institusi yang bertanggung jawab terhadap upaya melestarikan sumber-sumber informasi dan menyediakan akses luas terhadap pengetahuan dan informasi itu bagi penggunanya.

Referensi

Farnel, Frank. 1994. Lobbying: Strategies and techniques of intervention. Paris: Les Editions d’Organisation

Mengapa Lobbying identik dengan marketing politik?

Secara sederhana, kegiatan marketing politik sering melibatkan istilah lobbying, yang dimaknai sebagai bentuk partisipasi politik. Seringkali dalam lobi tersimpan juga unsur negosiasi atau lobi yang kecenderungan negatif di dalamnya termasuk "uang suap". Oleh karena itu, dalam melakukan lobi tetap harus menggunakan norma dan etika. Sebab aktivitas lobi memiliki manfaat untuk memberikan pemahaman maksud mengenai sebuah tujuan baik individu maupun kelompok dengan sasaran lobi juga bisa individu yang berpengaruh terhadap kelompok, lembaga pemerintahan, non pemerintahan.
 
Di samping itu, perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai definisi lobi dalam marketing politik, tidak sama dengan marketing konvensional yang seakan-akan untuk “menjual” parpol (partai politik) dan kandidat politik kepada pemilih (Firmanzah, 2012). Farnel (1994) mendefinisikan lobi dalam marketing politik adalah suatu kegiatan yang terdiri dari melakukan intervensi yang harus mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung setiap proses penjabaran, penerapan atau interpretasi tindakan legislatif, standar, aturan apa pun yang diambil oleh otoritas publik terkemuka. Selain itu, kegiatan lobbying juga mencakup bagaimana mengembangkan program kerja dan isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka dan mampu berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat. Aktivitas seperti itu dalam marketing politik merupakan sebuah teknik untuk memelihara hubungan dua arah dengan masyarakat. Dengan kata lain, apa yang diungkapkan partai politik atau seorang kandidat politik dan pemangku otoritas publik dalam forum formal, hal itu belum tentu merupakan urgensi masalah. Karena itu dibutuhkan pendekatan melalui forum yang tidak resmi alias kegiatan lobbying. Dengan hal ini makna lobbying bisa mengandung dimensi yang bersifat positif.
 
tag: Ilmu perpustakaan, kolaborasi, Lobbying, marketing politik
Referensi Farnel, Frank. 1994. Lobbying: Strategies and techniques of intervention. Paris: Les Editions d’Organisation
Firmanzah. 2012. Marketing Politik:Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia